Pendahuluan
Wakaf merupakan salah satu lembaga
Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai ibadah, dan sebagai
pengabdian kepada Allah swt. Masalah perwakafan ini terus berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik dari segi pengelolaan,
pengembangan, maupun pemanfaatannya. Bahkan sekarang harta benda wakaf juga
mengalami perkembangan dengan dibolehkannya wakif mewakafkan dengan benda
bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga, hak atas kekayaan
intelektual, dan lain-lain. Berkaitan dengan masalah wakaf ini, di dalam
al-Qur`an tidak terdapat ketentuan yang jelas yang mengatur tentang masalah
ini. Tetapi perintah al-Qur`an untuk berbuat baik dapat dijadikan landasan umum
bagi amalan wakaf. Sebagian fuqahā mengaitkan dasar hukum wakaf dengan perintah
berbuat baik dari al-Qur`an yang terdapat dalam Surat al-Mā`idah (5): 2
dan Surat al-Mā‘ūn (107): 7. Ketentuan Surat al-Mā`idah (5): 2 ini artinya
berbunyi, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa…”. Ayat ini menentukan agar melakukan kebaikan yang
seluas-luasnya. Amal kabaikan di sini ada yang abadi dan tidak terputus;
ada yang berlaku selama kurun waktu tertentu kemudian berakhir; dan ada juga
yang langsung dapat dimanfaatkan. Di samping itu, kebaikan ada yang tertuju
kepada orang tertentu atau untuk tujuan tertentu tanpa memperhatikan orang yang
mau memanfaatkannya.
Sedangkan Surat al-Mā‘ūn (107): 7
menetapkan, “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Maksudnya,
Allah mengancam dengan neraka pada orang yang mempunyai sifat buruk, di
antaranya yang digambarkan pada ayat ini, bahkan mereka menahan barang yang
dibutuhkan orang lain ketika mereka sendiri tidak
membutuhkannya. Sebagian fuqahā lainnya mengaitkan dasar hukum
wakaf dengan ayat-ayat al- Qur`an yang memerintah orang-orang yang beriman
untuk berbuat baik, yang terdapat dalam ayat-ayat berikut ini. (1)
al-Qur`an surat al-Baqarah (2): 267 memerintahkan: “Hai orang-orang
yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (2) al-Qur`an surat Āli ‘Imrān (3): 92 menentukan: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (3) al-Qur`an surat al-Hajj (22):
77 memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman,
ruku‘lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya
kamu mendapat kemenangan”.
Allah swt dalam al-Qur`an surat
al-Baqarah (2): 267 tersebut menentukan tentang jenis harta yang akan
diinfakan, yakni hendaknya harta tersebut dari jenis yang paling baik dan
disenangi oleh pemberi. Infak dengan harta yang paling baik tersebut, di
antaranya dapat dilakukan oleh seseorang dengan mewakafkan tanah yang
dimilikinya, seperti wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar.Selanjutnya dalam
al-Qur`an surat Āli ‘Imrān (3): 92, Allah swt menetapkan tanda keimanan
dan indikasi yang benar ialah berinfak di jalan Allah dengan harta yang
disayanginya secara ikhlas dan disertai niat yang baik. Bahkan, Allah swt lebih
tegas menyatakan kamu tidak akan sampai kepada kebaikan yang diridai Allah swt,
seperti lazimnya orang-orang yang taat kepada Allah dan mendapatkan rida-Nya
serta mendapatkan kemurahan rahmat sehingga memperoleh pahala dan masuk surga
serta dihindarkan siksaan Allah dari diri mereka, kecuali kamu menginfakkan apa
yang kamu senangi, yakni harta yang kalian muliakan. Sebagian ahli
mendefinikan infak adalah pemberian harta tanpa kompensasi apapun.
Pelaksanaan infak yang dianjurkan dalam ayat ini salah satunya dapat dilakukan
dengan melalui wakaf, baik berupa benda tidak bergerak atau benda bergerak,
seperti uang, mobil, dan lain-lain.
Allah swt dalam al-Qur`an surat
al-Hajj (22): 77 memerintah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya agar tunduk kepada Allah dengan bersujud dan beribadah kepada-Nya
dengan apapun yang dapat digunakan untuk menghambakan diri kepada-Nya. Di
samping itu, mereka juga diperintah untuk berbuat kebaikan agar memperoleh
keuntungan dan mendapat pahala serta keridaan-Nya. Salah satu perbuatan
baik yang diperintahkan dalam ayat tersebut dapat dilakukan dengan melalui
wakaf sebab jika seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya, berarti dia
telah melaksanakan kebaikan tersebut dan pahalanya terus mengalir selama harta
benda wakaf tersebut bermanfaat.
Ayat-ayat al-Qur`an tersebut
memang tidak langsung menguraikan tentang wakaf, tetapi fuqahā
mengaitkannya sebagai dasar umum hukum wakaf. Hal ini disebabkan ayat-ayat
tersebut mendorong orang-orang yang beriman untuk berbuat kebaikan melalui
harta benda yang dimilikinya. Perbuatan kebaikan yang dianjurkan pada ayat
tersebut salah satunya dapat melalui wakaf. Di dalam as-Sunnah terdapat dasar
hukum untuk amalan wakaf tersebut. Di antaranya ‘Umar telah menahan sebidang
tanah di Khaibar dan menyedekahkan hasilnya untuk orang-orang fakir, keluarga
dekat, memerdekakan hamba, menjamu tamu, orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan, dan pengurus wakaf serta keluarganya. Demikian juga ‘Usmān
telah membeli sumur Rūmah di Madinah dan airnya dimanfaatkan untuk kepentingan
kaum muslimin. Selain itu, Khālid Ibn Wālid telah menahan baju besi dan persiapan
perang untuk dimanfaatkan di jalan Allah. Di samping itu, menurut sahabat
Jābir tidak seorang-pun yang ketinggalan dari sahabat Rasulullah saw yang
mempunyai harta, kecuali ia mewakafkan hartanya tersebut.
Wakaf yang telah dilaksanakan
sejak zaman Nabi Muhammad saw tersebut selanjutnya diikuti oleh kaum muslimin
di seluruh dunia, terutama di negara-negara Islam atau negara-negara yang
penduduknya beragama Islam, misalnya Mesir, Saudi Arabia, Syria, Yordnia,
Turki, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Masing-masing negara ini
mengatur masalah perwakafan dalam suatu peraturan perundang-undangan
tersendiri, termasuk salah satunya di Indonesia.Az-Zuhaili berpendapat hukum
wakaf hanya sedikit diatur oleh as-Sunnah dan kebanyakan ditetapkan oleh ijtihad
fuqahā dengan berpegang kepada istihsān, istislāh, dan ‘urf atau
kebiasaan. Sedangkan Syaikh Mustafā az-Zarqā, dikutif oleh Munżir Qahaf,
menyatakan rincian hukum wakaf dalam fikih, keseluruhannya berdasarkan hasil
ijtihad, qiyās, karena akal berperan dalam hal ini.
Dengan penggunaan ijtihad ini, diharapkan perwakafan dapat lebih maju, karena
fuqahā dari berbagai disiplin ilmu dapat mengembangkan wakaf dalam bentuk baru
sesuai dengan kebutuhan zaman dengan menggunakan manajemen modern yang sesuai
dengan prinsip syari‘at. Mereka dapat membentuk lembaga riset untuk
melakukan penelitian bagi pengembangan wakaf baru yang sesuai dengan kondisi
wilayah masing dan untuk operasionalisasinya, mereka dapat bekerjasama dengan
berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri.
Walaupun demikian hal-hal yang
penting dalam perwakafan harus tetap menjadi perhatian, misalnya fuqahā
meyepakati persyaratan wakaf, yaitu tujuannya harus dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allh swt, pengelola wakaf harus mengusahakan agar manfaat
wakaf terus berlanjut atau berulang, sebab wakaf mengandung makna pemanfaatan
secara berulang, karena hal ini terkandung dalam pengertian “sadaqah jariyah”.
Wakaf ini merupakan salah satu bagian hukum Islam yang memerlukan kekuasaan
negara untuk pelaksanaannya. Tanpa adanya aturan-aturan pelaksana dalam suatu
sistem hukum nasional, ia tidak akan mendapat penerimaan yang layak dan efektif
dalam masyarakat. Jadi, negara dapat mengatur wakaf ini melalui peraturan
perundang-undangan agar berlaku efektif di masyarakat dan dikelola serta
dikembangkan secara produktif, sehingga wakaf tidak hanya bermanfaat untuk
kegiatan ibadah mahdah saja tetapi dapat lebih luas lagi, di antaranya sebagai
salah satu alternatif untuk menanggulangi kemiskinan, sebagaimana wakaf ‘Umar
tersebut.
Wakaf ini, di
beberapa negara telah berkembang pengelolaan dan pemanfaatannya serta
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti di Mesir dan Turki.
Demikian juga di Indonesia, masalah perwakafan telah diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan
KompilasiHukum Islam. Selanjutnya terakhir masalah ini diatur dengan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Pembahasan
Pengertian
Secara etimologi, wakaf berasal dari
perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk
masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau
diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang
dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu
Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah
Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain)
untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328).
Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut :
1.
Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
2.
Malikiyah berpendapat, wakaf
adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya
dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad
(shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi:
2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang
atau tempat yang berhak saja.
3.
Syafi‘iyah mengartikan wakaf
dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta
dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
4.
Hanabilah mendefinisikan wakaf
dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan
menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para
ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Dari beberapa definisi wakaf
tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau
faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai
dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan
pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
Hukum wakaf
sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus
selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits :
اِذَا مَاتَ
ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ
عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam
meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu
sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh
yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Harta yang
diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta
wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wakaf merupakan perbuatan
hukum yang dilakukan wakif untuk
mensisihkan atau memberikan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamamya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan
untuk kesejahteraan menurut Syariah. tanah yang telah diwakafkan, dapat
dimanfaatkan untuk sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan
serta kesehatan, bantuan pada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu,
beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat atau kemajuan kesejahteraan
umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.
Macam-Macam wakaf :
- Wakaf tanah : wakaf yang
bersangkutan dengan tanah yang akan di wakafkan dan dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan dan sarana yang bermanfaat.
- Wakaf uang : wakaf yang akan di sumbangkan kepada
pihak tertentu dapat dimanfaat untuk kebutuhan sehari-hari.
Tanah wakaf sangat banyak ditemui di
Indonesia, tetapi banyak dari tanah wakaf tersebut belum memiliki sertipikat
yang menerangkan keberadaan pewakafan tanah tersebut. akibatnya banyak ahli
waris wakif (pemberi wakaf) mengklaim tanah yang dikelola nadzir
(penerima dan pengelolah wakaf) adalah miliknya, sehingga setiap saat bisa
alihfungsikan atau diambil. jika sudah demikian kejadiannya, nadzir tak
akan mampuvmelakukan perlawanan dan mempertahankan tanah wakaf tersebut.
menurut pengembangan zakat dan wakaf Departemen Agama (Depag), langkah
pengamanan yang wajib dilakukan, nadzir harus memiliki dan mengurus
sertipikat tanah wakaf. sertipikat tanah wakaf ini dapat dibuat di kantor
urusan Agama dengan menghadirkan nadzir serta beberapa orang saksi.
sertipikat atau akta tanah ini dapat menjadi pegangan bagi nadzir bahwa
tanah yang dikelolanya benar-benar tanah wakaf dan tidak akan ada konflik di
kemudian hari. pejabat yang berwenang yang ditetapkan menteri untuk membuat
akta wakaf ialah pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Wakaf adalah
salah satu lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai ibadah,
dan sebagai pengabdian kepada Allah swt. Kata wakaf berasal dari bahasa
Arab faqaa-yafiqu-waqfan yang berarti
berhenti, persamaannya adalah hasana-yahsinu-habsan-atau habasa
,atau . Salah satu artinya adalah menahan. Pada zaman Nabi saw dan
para sahabat dikenal istilah habs, tasbil, atau tahrim. Belakangan baru dikenal
istilah waqf.
Menurut Encyclopædia Britannica Waqf
is a peculiarly Islāmic institution whereby the founder relinquishes his
ownership of real property, which belongs henceforth to Allāh, and dedicates
the income or usufruct of the property in perpetuity to some pious or
charitable purpose, which may include settlements in favour of the founder’s
own family. (Wakaf adalah suatu institusi khusus dalam Islam dengan jalan
pemilik melepaskan hak miliknya, untuk selanjutnya menjadi milik Allah dengan
maksud agar harta tersebut dimanfaatkan selamanya untuk tujuan kebaikan,
termasuk untuk keperluan keluarganya).
Abū Hanifah memberi pengertian
tentang wakaf adalah penghentian benda secara hukum dalam pemilikan wakif dan
menyedekahkan manfaatnya pada tujuan yang baik. Dalam pandangan Abū
Hanifah, wakaf tidak harus keluar dari pemilikan wakif, tetapi dia boleh
mencabut kembali serta menjual harta wakaf tersebut. Di samping itu, Abū
Hanifah menyamakan kedudukan wakaf seperti ‘Āriah (pinjam meminjam).
Adapun yang dimaksud dengan ‘Āriah adalah pemilikan manfaat sesuatu tanpa
ganti rugi. Akan tetapi ada sedikit perbedaan: ‘Āriah bendanya ada pada
si peminjam, sedangkan wakaf bendanya ada pada si pemilik. Jadi, kedudukan
harta yang diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan hak sepenuhnya.
Abū Hanifah berpendapat bahwa wakaf
menjadi mengikat dengan salah satu dari tiga perkara di bawah ini :
1.
Berdasarkan putusan hakim jika
terjadi sengketa antara wakif dan nazir.
2.
Hakim menggantungkan wakaf pada
kematian wakif, misalnya wakif berkata, ”Jika aku meninggal dunia, aku wakafkan
rumahku”. Dalam hal ini wakaf menjadi mengikat seperti wasiat, yaitu maksimum
sepertiga dan diberlakukan setelah pewasiat meninggal dunia.
Menurut Abū Hanifah jika seseorang
menjadikan wakaf itu sebagai masjid dan dia memisahkannya dari harta milliknya
serta mengizinkan digunakan untuk melaksanakan salat. Selanjutnya ada orang
yang melaksanakan salat di dalam masjid itu, lepaslah hak milik wakif.
Pemisahan ini terjadi karena ia telah mengikhlaskan harta wakaf itu kepada
Allah. Namun demikian, Jumhūr (termasuk dua sahabat Abū Hanifah, yaitu Abū
Yūsuf dan Muhammad Ibn al-Hasan, mazhab Syāfi‘i, dan mazhab Hambali)
mendefinisikan wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya,
tetap ‘ainnya (bendanya), dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
harta tersebut, serta disalurkan pada sesuatu yang mubah yang ada atau untuk
tujuan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
diwakafkannya harta tersebut lepas dari milik wakif dan tertahan secara
hukum menjadi milik Allah.
Sementara itu mazhab Māliki
mengartikan wakaf adalah pemilik memberikan manfaat harta yang dimilikinya bagi
para pihak yang berhak walaupun berupa harta yang disewa atau hasilnya seperti
dirham dengan sighat tertentu dan lamanya ditentukan oleh orang yang
mewakafkan. Penulis mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
menahan harta benda miliknya, baik sementara waktu maupun untuk selamanya,
dimanfaatkan secara berulang untuk kepentingan umum maupun khusus sesuai dengan
prinsip syari‘at Islam. Definisi ini mencakup wakaf benda bergerak maupun tidak
bergerak ataupun hak-hak yang dimiliki seseorang, misalnya berupa uang , tanah,
mobil, hak atas kekayaan intelektual, dan lain-lain serta dilakukan dalam
rangka taqarrub kepada Allah swt.
Pengertian ini memberi kesempatan
kepada wakif untuk mewakafkan hartanya apakah untuk selamanya, misalnya tanah
yang digunakan untuk masjid atau berlaku untuk jangka waktu tertentu, seperti
wakif menyewa sebuah rumah selama satu tahun. Rumah yang disewa ini kemudian
diwakafkan oleh wakif sampai habis masa sewanya atau dia mewakafkannya selama
enam bulan kemudian setelah enam bulan kembali lagi kepada wakif yang
bersangkutan sampai habis masa sewanya. Pemanfaatan harta benda wakaf secara
berulang di sini maksudnya untuk menjaga kelestarian dan keutuhan harta benda
wakaf jangan sampai sekali pakai langsung habis. Cara ini sesuai dengan harapan
wakif agar pahala harta benda yang diwakafkannya terus mengalir walaupun
dia telah meninggal dunia. Hal ini memungkinkan manfaat harta benda wakaf dapat
berlangsung secara berulang-ulang. Dengan cara ini harta benda wakaf dapat
berfungsi sebagai sedekah yang terus berjalan sebagaimana digambarkan oleh Nabi
saw. Pengertian ini juga mendorong pengurus wakaf agar mampu mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf secara produktif, sehingga harta benda wakaf
dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya.
Definisi ini memberikan hak kepada
wakif untuk memanfaatkan wakafnya yang dapat mencakup wakaf khairi untuk
kepentingan kebaikan secara umum, misalnya orang-orang miskin, sekolah, dan
lain-lain atau yang khusus yang ditentukan oleh wakif, karena dia menunjuk para
pihak tertentu yang berhak menikmati hasil wakaf. Di samping itu,
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus pada sektor-sektor yang
dibenarkan syari‘at. Jadi, jangan sampai pengurus wakaf melakukan usaha pada
sektor-sektor yang melanggar ketentuan syari‘at. Demikian juga pemanfaatan
hasilnya jangan sampai pada kegiatan-kegiatan yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya yang perlu diperjelas
lebih lanjut dalam tulisan ini adalah kata “miskin”. Kata ini berarti “tidak
berharta benda” atau “serba kekurangan”. Adapun “kemiskinan” berarti “hal
miskin” atau keadaan miskin”. Kata miskin ini berasal dari bahasa Arab,
yaitu “miskin”, bentuk jamak dari kata ini adalah “masākin”. Ibn Kasir
mengartikan kata “masākin” adalah mereka yang berusaha tetapi tidak dapat
menutup keperluan sehari-hari.
Kemiskinan menurut Irfan Ul Haq adalah “Poverty can be defined as that level of
living that lies below a healthy subsistence level”, (kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai tingkat kehidupan yang berada di bawah garis penghidupan
yang sehat). Robert Chambers, dikutif Loekman Soetrisno, mengggunakan konsep
kemiskinan terpadu (integrated poverty) untuk memahami masalah kemiskinan di
negara sedang berkembang. Ia melihat kemiskinan yang dialami oleh rakyat di
negara sedang berkembang, khususnya rakyat pedesaan, disebabkan oleh beberapa
faktor yang disebut sebagai ketidakberuntungan yang saling terkait antara satu
dengan yang lainnya.
Menurutnya ada lima ketidakberuntungan yang melingkari
kehidupan orang atau keluarga miskin, yaitu sebagai berikut:
1.
Kemiskinan (poverty). Hal ini
ditandai dengan: (1) mereka menempati rumah yang dibuat dari bahan bangunan
yang bermutu rendah, perlengkapan yang minim, tidak memiliki mck sendiri.
Kehidupan ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang.
(2) pendapatan mereka tidak pasti dan jumlahnya tidak memadai. Dengan pendapatan
seperti ini, maka mereka menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu
juga.
2.
Fisik yang lemah (physical
weakness). Kelemahan fisik orang miskin atau keluarga miskin dapat disebabkan
terdapat rasio ketergantungan yang tinggi antara anggota keluarga tersebut
dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah. Keadaan ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak ada seorang laki-laki yang sehat
yang menjadi kepala keluarga sehingga rumah tangga terpaksa harus dikepalai
oleh seorang perempuan yang harus bekerja mengurusi pekerjaan rumah tangga
sehari-hari dan harus juga bekerja untuk menghidupi keluarganya. Keadaan ini
dapat juga terjadi karena kematian yang mendadak dari orang dewasa dalam
keluarga miskin yang menjadi tulang punggung pencari nafkah keluarganya.
Ketergantungan seperti ini dapat mengakibatkan keluarga miskin secara fisik
menjadi lemah, akibat interaksi berbagai bibit penyakit dan gizi mereka yang
rendah.
3.
Kerentanan (vulnerability).
Keluarga miskin biasanya tidak memiliki cadangan untuk menghadapi keadaan
darurat, baik berupa uang ataupun makanan. Jika terjadi keadaan darurat seperti
keluarga sakit mendadak, keluarga ini biasanya menjual barang yang mereka
miliki atau berhutang kepada tetangga. Apabila menghadapi masa paceklik, mereka
biasanya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan menjual barang-barang yang
mereka miliki, berhutang kepada orang yang mampu, atau mengurangi makan mereka.
Keadaan darurat dapat saja mengakibatkan keluarga miskin menjadi lebih miskin
dan rawan dari berbagai macam penyakit, bahkan mungkin juga menyebabkan
kematian.
4.
Keterisolasian (isolation).
Kelompok miskin mungkin dapat terasing karena tempat tinggalnya secara
geografis terasing atau mereka tidak mempunyai akses terhadap sumber-sumber
informasi yang ada. Misalnya karena serba kekurangan mereka tidak mampu membeli
radio atau tidak dapat ikut kegiatan di desa mereka yang dapat memberi
informasi yang baru yang bermanfaat bagi peningkatan hidup mereka.
5.
Ketidakberdayaan (powerlessness).
Orang miskin biasanya tidak berdaya menghadapi orang-orang lain yang sering
mengeksploitasi mereka atau para rentenir. Bahkan kadang-kadang mereka tidak
berdaya terhadap tindakan oknum aparat pemerintah yang tidak ramah terhadap
mereka.
Penulis menghargai pandangan Chamber
tersebut yang mencoba memahami masalah kemiskinan di negara sedang berkembang,
tetapi tentu pendapat tersebut tidak seluruhnya benar, artinya tidak semua
orang miskin harus hidup dalam kelima ketidakberuntungan tersebut. Jadi tidak
semua orang miskin fisiknya lemah atau tidak semua orang miskin selalu
mengalami ketidak berdayaan. Penulis melihat kemiskinan berdasarkan ajaran
Islam yaitu keadaan seseorang yang sumber penghasilannya tidak cukup memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar makanan, pakaian, air minum, dan tempat perlindungan,
yang semuanya merupakan kebutuhan pokok. Kondisi seperti ini, bukan hanya sulit
melanjutkan kelangsungan kehidupan, tetapi juga tidak cukup untuk hidup sehat
dan tidak dapat melangsungkan produktivitas yang memadai.
Kriteria kebutuhan dasar ini dapat
dilihat di antaranya dalam al-Qur`an Surat Tāhā (20): 118-119 artinya:
“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang
dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panas matahari di dalamnya”. Demikian juga al-Qur`an Surat al-A‘rāf (7):
10 menentukan sebagai berikut yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah
menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu
(sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
Ayat-ayat al-Qur`an tersebut
menetapkan suatu konsep dan standar kebutuhan-kebutuhan manusia, yaitu berupa
kecukupan pangan, sandang, air, tempat perlindungan, dan berhak untuk mengelola
serta memanfaatkan sumber-sumber penghidupan di muka bumi ini. Sebagian
fuqahā mengartikan miskin adalah yang mempunyai harta atau penghasilan layak
dalam memenuhi keperluannya dan orang yang mempunyai tanggungannya, tetapi
tidak sepenuhnya tercukupi. Ahli hukum Islam lainnya mendefinisikan
miskin adalah orang yang mempunyai barang yang berharga atau pekerjaaan yang
dapat menutup sebagian hajatnya, tetapi tidak mencukupinya. Sedangkan
fuqahā lainnya memberi pengertian orang miskin adalah orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
Selanjutnya di dalam al-Qur`an
dikenal juga istilah “al-faqir” (al-Hajj (22): 28) dan “al-fuqarā`u” (at-Taubah
(9): 60). Di dalam bahasa Arab kata “al-fuqarā`u” merupakan bentuk jamak dari
kata “al-faqir”, kata ini artinya yang miskin, atau yang
membutuhkan. Yang dimaksud dengan kata ini adalah orang yang amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. Sedangkan Taqyuddin an-Nabhani mendefinisikan “al-faqir”
adalah orang yang membutuhkan dan lemah keadaannya, yang tidak bisa dimintai
apa-apa. Menurutnya yang dimaksud kebutuhan di sini adalah kebutuhan primer
berupa sandang, pangan, dan papan, (al-Baqarah (2): 233; Tāhā (20):
118-119; at-Talāq (65): 6). Berkaitan dengan hal ini Abū Yūsuf pengikut Abū
Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Mālik, dikutif oleh M.Yūsuf al-Qardāwi,
berpendapat antara fakir dan miskin keduanya sama saja. Sedangkan Jumhūr
menambahkan keduanya adalah dua golongan, tetapi satu macam. Yang dimaksud
adalah mereka yang dalam kekurangan dan dalam keadaan kebutuhan. Jadi
fakir atau miskin adalah setiap orang yang memerlukan sesuatu dan harus
dibantu.
Penulis berpendapat antara fakir dan
miskin keduanya merupakan kelompok yang kurang mampu yang terdapat di dalam
masyarakat dan mereka membutuhkan bantuan kelompok yang mampu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primer yang mereka hadapi seperti sandang, pangan, dan
lain-lain..
Dalam perspektif Islam, kemiskinan adalah keadaan ketidakcukupan atau
kekurangan harta benda, kekayaan atau keduanya, termasuk kebutuhan untuk
kesejahteraan fisik manusia. Dari pembahasan tersebut, dapat ditetapkan
simpulan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasar untuk kelangsungan hidupnya.
Wakaf Menurut Hukum
Islam
Sebagaimana telah dibahas bahwa ketentuan
wakaf banyak diatur melalui ijtihad. Dengan penggunaan ijtihad ini, diharapkan
perwakafan dapat lebih maju, karena fuqaha dari berbagai disiplin ilmu dapat
mengembangkan wakaf dalam bentuk baru menurut kebutuhan zaman dengan
menggunakan manajemen modern yang sesuai dengan prinsip syari‘at. Mereka
dapat membentuk lembaga riset untuk melakukan penelitian bagi
pengembangan wakaf baru yang sesuai dengan kondisi wilayah masing dan untuk
operasionalisasinya, mereka dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, baik di
dalam maupun di luar negeri. Di samping itu, negara masing-masing dapat
mengaturnya melalui peraturan perundang-undangan agar berlaku efektif di
masyarakat. Hal ini disebabkan wakaf merupakan bagian hukum Islam yang
memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya.
Walaupun demikian hal-hal yang
penting dalam perwakafan harus tetap menjadi perhatian, misalnya fuqahā
meyepakati persyaratan wakaf, yaitu tujuannya harus dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allh swt, pengelola wakaf harus mengusahakan agar manfaat
wakaf terus berlanjut atau berulang, sebab wakaf mengandung makna pemanfaatan
secara berulang, karena hal ini terkandung dalam pengertian “sadaqah jariyah”.
Di kalangan fuqahā, timbul
pengembangan pemikiran di bidang perwakafan yang memungkinkan di kalangan mereka
terjadi perbedaan pendapat. Misalnya ulama belakangan mazhab Hambali
membolehkan pembatasan waktu pada wakaf. Sementara ulama mazhab Syāfi‘i
menegaskan wakaf sementara hukumnya batal. Tetapi mazhab ini menambah
penjelasan jika terdapat syarat batasan waktu bagi wakaf masjid menjadikan
wakafnya batal, karena wakaf masjid bersifat abadi. Demikian juga fuqahā
berbeda pendapat tentang batasan waktu dalam wakaf yang muncul dari keinginan
wakif. Jumhūr menolaknya, tetapi mazhab Māliki membolehkannya kecuali wakaf
berupa masjid.
Berkaitan dengan wakaf yang berlaku
sementara tersebut, saat ini, di Eropa dan Amerika sebagian penganut Islam
sudah biasa melaksanakannya, terutama yang di situ terdapat mahasiswa muslim.
Mereka banyak menggunakan masjid digunakan untuk salat dan berkumpul yang
disewa dari orang-orang non muslim. Mereka pindah menggunakan masjid, setelah
sebulan atau setahun ke tempat lain dengan cara menyewa juga. Penulis mempunyai
pandangan wakaf yang berlaku sementara tersebut, saat ini memungkinkan untuk
dikembangkan, mengingat perkembangan industri yang pesat mengakibatkan tanah
menjadi sulit dan harganya menjadi mahal, terutama di beberapa daerah yang
menjadi pusat industri. Misalnya pada suatu daerah yang menjadi pusat industri
belum ada masjid jami, sebelum mendapatkan tanah wakaf yang strategis, maka
seseorang atau beberapa orang mengontrak sebidang tanah dengan bangunannya atau
satu lantai dari bangunan bertingkat selama satu tahun atau selama masa
kontrak, kemudian ia mewakafkan selama masa kontrak ini untuk kegiatan ibadah
kaum muslimin.
Dengan dibolehkannya ijtihad di
bidang perwakafan tersebut, berarti ide-ide tentang wakaf sesungguhnya dapat
menjadi luas, termasuk ide bagi wakif dalam menetapkan syarat-syarat yang
dianggap sesuai dengan tujuan wakaf, selama masih dalam batas yang dibenarkan
syari‘at, karena yang penting bagi wakif, tujuan wakaf harus dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah swt, jadi bukan untuk tujuan maksiat atau apa
saja yang dapat menyebabkan kemaksiatan. Oleh karena itu, undang-undang wakaf
di berbagai negara harus memberikan alternatif pilihan bagi wakif, di samping
menyarankan tujuan yang sangat mendasar bagi tujuan wakaf. Undang-undang wakaf
ini harus juga dapat mendorong pembentukan wakaf-wakaf baru. Jika wakif
mewakafkan harta benda miliknya untuk tujuan kebaikan, kemudian dia
mengecualikan dapat mengambil manfaat sebagian hasilnya sepanjang hidup, maka
Mazhab Hambali memberi fatwa boleh wakaf seperti ini. Fatwa ini berlaku dalam
akte wakaf di pengadilan Kerajaan Arab Saudi dan sejalan dengan pendapat
mazhab Hanafi yang disampaikan oleh Abū Yūsuf. Fatwa ini berlaku juga dalam
akte wakaf di pengadilan syari‘at Kerajaan Yordania.
Penulis berpendapat pengembangan
wakaf melalui ijtihad tersebut, seharusnya, di samping untuk tujuan ibadah,
juga bertujuan untuk membentuk infrastruktur kelembagaan dalam memberikan
bantuan sosial dan ekonomi serta tidak dibangun di atas prinsip mencari
keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan persaingan yang ketat antar pelaku
pasar. Untuk mewujudkan tujuan ini, maka pemerintah harus mengaturnya melalui
peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah disinggung. Undang-undang wakaf
ini, harus menentukan secara tegas karakteristik wakaf yang dibentuk untuk
menciptakan lembaga ekonomi dengan kesempurnaan nilai-nilainya dan infra
struktur kelembagaannya serta mengatur pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf dengan cara berpihak pada kepentingan masyarakat. Pemerintah di sini
dapat berperan sebagai pengontrol kegiatan wakaf, mendorong tumbuhnya wakaf
produktif, dan memberikan fasilitas serta bantuan teknis keuangan.
Menurut penulis, para nazir merupakan
salah satu yang berpengaruh dalam perwakafan. Mereka merupakan pemimpin umum
dalam wakaf yang memegang peranan penting dalam pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf. Oleh karena itu, selain ia harus memenuhi syarat
sebagai nazir, dia juga harus mengetahui dan memahami peraturan
perundang-undangan tentang perwakafan dan pengetahuan yang ada relevansinya
dengan perwakafan, misalnya pengetahuan administrasi dan keuangan yang dianggap
perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan
tujuannya, manajemen, dan lain-lain.Penulis mempunyai pandangan untuk
menentukan bentuk manajemen wakaf, khususnya di Indonesia, para nazir tersebut
harus mengetahui dan memahami secara rinci tujuan-tujuan wakaf yang dapat
diperkirakan dan direalisasikan. Para nazir harus berusaha untuk mewujudkan
tujuan-tujuan wakaf tersebut dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1.
Melindungi dan memelihara harta
benda wakaf serta berhati-hati melakukan investasi harta benda wakaf dan
meminimalisir resiko investasi. Karena harta benda wakaf merupakan dana abadi
yang hasilnya dimanfaatkan untuk tujuan kebaikan. Perawatan harta benda wakaf
dapat dilakukan, di antaranya pada investasi jangka panjang, tetapi resikonya
sangat kecil. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk mengikuti dunia investasi
dan kondisi pasar.
2.
Mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf, dengan meningkatkan hasilnya, mengurangi pengeluaran untuk
investasi, dan menghindari penyelewengan, seperti pencurian, penyalahgunaan
amanah, dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Dengan cara ini, mereka dapat
memanfaatkan hasil wakaf sesuai dengan tujuannya dan tepat sasarannya.
3.
Melakukan distribusi hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan tujuannya serta
berusaha mencegah penyimpangan dalam penyaluran hasilnya kepada yang berhak
menerima. Oleh karena itu, para nazir harus mengetahui keadaan orang-orang yang
berhak menerima manfaat wakaf dan perubahan sosial ekonomi yang terus
berlangsung serta mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi
perubahan tersebut.
4.
Berpegang teguh pada syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh wakif.
5.
Mengajak masyarakat untuk
melaksanakan wakaf, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui keteladanan.
Usaha ini tentu perlu berkesinambungan dan bekerjasama dengan para ulama, tokoh
masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak lain yang relevan.
6.
Melaporkan seluruh kegiatan
pengelolaan, pengembangan, investasi, pemanfaatan harta benda wakaf, dan
hasilnya kepada wakif, pejabat yang berwenang, dan masyarakat sekitar harta
benda wakaf itu berada, minimal sekali dalam setahun.
Dengan upaya tersebut, menurut
penulis para nazir diharapkan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan tujuan
wakaf dan menyampaikan hasilnya bagi para pihak yang berhak menerimanya, di
antaranya sebagai salah satu alternatif untuk menanggulangi kemiskinan. Selain
itu juga, mereka diharapkan mampu membentuk wakaf-wakaf baru. Agar harapan tersebut
dapat terwujud, maka harus dilakukan upaya-upaya yang dapat menunjangnya, yaitu
sebagai berikut:
1.
Pemerintah harus mengatur wakaf
melalui peraturan perundang-undangan komprehensif. Selain itu, pemerintah
melalui pejabat yang ditunjuknya harus melakukan pembinaan dan pengawasan
administrasi dan keuangan terhadap pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf serta pemanfaatan hasilnya yang dilakukan oleh para nazir tersebut.
Di samping itu, pemerintah juga harus memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk
pengembangan perwakafan.
2.
Wakif harus ikut mengontrol para
nazir dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf serta
pemanfaatan hasilnya.
3.
Badan Wakaf Indonesia yang
dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan merupakan
lembaga independen harus melakukan pembinaan, pengawasan, pengangkatan,
perubahan, dan pemberhentian para nazir, serta tindakan-tindakan lainnya yang
bermanfat bagi pengembangan harta benda wakaf. Pola kerja badan ini harus
merespon persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masalah yang sangat
mendasar di antaranya kemiskinan. Organisasi badan ini sebaiknya ramping dan
solid serta anggota-anggotanya terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang relevan
dengan pengembangan wakaf produktif. Anggota badan ini untuk perwakilan di
daerah, selain harus memenuhi persyaratan menurut undang-undang, menguasai
masalah perwakafan secara umum, memahami manajemen, administrasi keuangan, dan
lain-lain; juga harus memahami kondisi geografis wilayahnya dan karakteristik
masyarakatnya. Oleh karena itu, para anggotanya sebagian harus melibatkan
orang-orang dari daerah yang mengetahui kondisi geografis wilayah ini dan
kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.
4.
Masyarakat setempat perlu
dilibatkan untuk ikut mengawasi dan mengontrol pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf, baik terhadap aspek administrasi maupun keuangan. Pengawasan
dari masyarakat ini dapat lebih efektif, karena bersifat lokal.
5.
Nazir di masa depan, sebaiknya
berbentuk badan hukum, seperti yayasan. Oleh karena kewajiban dan hak organ
yayasan, baik pembina, pengurus, dan pengawas, telah diatur secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yayasan,
serta ketentuan lain yang ditetapkan yayasan. Dengan cara ini, para pengurus
diharapkan dapat mengurangi penyimpangan terhadap harta benda wakaf.
6.
Pihak yang berwenang harus
melaksanakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhadap siapapun yang melakukan penyimpangan,
penyelewengan, dan tindak pidana lainnya di bidang perwakafan.
7.
Pihak-pihak yang memberi
kepercayaan kepada para nazir untuk mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf harus memberikan gaji serta beberapa tunjangan yang memadai, sehingga
mereka dapat menghidupi keluargaanya dengan layak di tengah-tengah masyarakat.
Bahkan sebaiknya mereka mendapat tunjangan pengsiun, ketika mereka memasuki
usia pengsiun, dengan cara lembaga tempat mereka mengabdi membuat program dana
pengsiun.
Dengan upaya-upaya tersebut, wakaf
diharapkan dapat berfungsi sebagai ibadah bagi yang melaksanakannya dan
berfungsi sosial. Agar fungsi-fungsi tersebut dapat terwujud tentu perlu
pengawasan yang ketat dari wakif, masyarakat setempat, lembaga independen, dan
pemerintah. Dengan cara demikian hasil investasi harta benda wakaf dapat sampai
kepada yang berhak menerimanya, termasuk dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif untuk menanggulangi kemiskinan sebagaimana wakaf berupa tanah dari
Umar tersebut dimanfaatkan salah satunya untuk membantu fakir miskin.
Hal ini dapat dilihat di beberapa
negara yang sudah mapan dalam pengelolaan wakaf. Sebagai salah satu contoh
peruntukan wakaf untuk fakir miskin, dapat dilihat di Republik Arab Mesir. Di
Republik ini terdapat dua jenis wakaf, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi. Wakaf
ahli merupakan wakaf yang ditujukan untuk kepentingan keluarga wakif yang
berlaku secara turun temurun kepada keluarga tersebut. Menurut ketentuan
undang–undang di Mesir, yaitu Undang-undang Nomor 48 Tahun 1946 tentang Perwakafan,
jangka waktu wakaf yang berbentuk bukan wakaf khairi harus
dibatasi, yakni tidak melebihi dua generasi atau tidak boleh lebih dari masa 60
(enam puluh) tahun sejak kematian pewakaf. Adapun wakaf khairi merupakan
wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum yang manfaatnya diperuntukan untuk
kepentingan tertentu umat Islam, misalnya fakir-miskin, anak yatim, panti
asuhan, pembangunan masjid, madrasah, rumah sakit dan lain-lain. Wakaf ini
bersifat selamanya dan tidak boleh diubah. Di Mesir, wakaf khairi, bahkan ada
yang dimanfaatkan untuk mengganti piring-piring yang rusak/pecah di kalangan
umat Islam. Jadi, di Republik Arab Mesir peruntukan wakaf khairi, salah
salah satunya dapat dimanfaatkan untuk orang-orang miskin sebagaimana tersebut.
Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah
harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan
ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal
5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi
dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
Demikian juga contoh lain dapat
dikemukakan di Republik Turki. Di Republik ini, wakaf sejak tahun 1840 M berada
di bawah satu kementrian yang disebut Wizārah al-Auqāf. Wakaf di Turki
diantaranya dimanfaatkan untuk: (1) pelayanan kesehatan dan (2) pendidikan
serta sosial. Hal yang pertama disediakan melalui wakaf-wakaf rumah
sakit. Salah satu di antara rumah sakit tersebut didapati pada tahun 1843 di
Istambul yang didirikan oleh Sultan Abdul Mecit yang terakhir dikenal dengan
sebutan Bezmi Alan Valid Sultan Gurki Muslim.
Sekarang
masih merupakan rumah sakit modern di Istambul, yang mempunyai 1425 tempat
tidur, 400 dokter, para juru rawat, dan staf umum. Untuk keperluan yang kedua
dibentuk Imarets yang merupakan institusi yang sudah ada sejak periode Ottoman.
Sampai saat ini 32 Imarets memberikan pelayanan kepada sekitar 15000 orang
setiap hari dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang buta dan miskin.
Di samping itu, Imarets juga memberikan bantuan finansial kepada paling sedikit
1.000 orang miskin sejak tahun 1925. Beberapa bangunan wakaf juga dimanfaatkan
untuk asrama mahasiswa yang kurang mampu. Sejauh ini pada 46 kota tersedia 50
asrama yang dihuni paling sedikit oleh 10.000 mahasiswa.
Dari contoh-contoh tersebut, dapat
dilihat bahwa wakaf jika dikelola dan dikembangkan secara profesional dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk menanggulangi kemiskinan di
masyarakat.
Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar
disyari’atkannya ibadah wakaf dapat dilihat dari beberapa Al-Quran dan Hadist
Nabi Muhammad SAW, antara lain:
Surat Al-Hajj ayat 77 yang artinya :
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”
Surat ‘Ali Imron ayat 92 yang artinya
“ kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kemu cintai. Dan apa saja yang kemu nafkahkan, maja
sesungguhnya Allah mengetahui”
Hadist Nabi dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata, bahwa Sahabat Umar r.a.
memperolah sebidang tanah di khaiar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk
mohon petujuk. Umar berkata, “ ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah
di khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepada ku?” Rasulullah bersabda, “ Bila kau suka, kau tahan
(pokoknya) tanah itu, dan engkau shodaqahkan (hasilnya).” Kemudian Umar
melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan. Berkata
Ibnu Umar, “ Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak
belian, sbilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa/tidak dilarang bagi
yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara
baik (sepantasnya) atau makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta.”
Unsur-unsur wakaf (rukun-rukun wakaf) ada 4, yaitu:
v Orang-orang berwakaf (wakif).
v Sesuatu atau harta yang diwakafkan (mauquf).
v Tempat berwakaf (mauquf alaih), yaitu tempat kemana diwakafkannya harta
itu; dan
v Aqad, yaitu sesuatu pernyataan timbang terima harta wakaf dan si wakif
kepada mauquf alaih. Kalau kepada orang tertentu hendaklah ada qabul, tetapi
kalau wakaf untuk umum tidak disyaratkan qabul.
Untuk sahnya suatu wakaf,
harus dipenuhi beberapa syarat dari unsur-unsur wakaf di atas, yaitu:
1.
Orang yang mewakafkan harus orang
yang sepenuhnya berhak untuk menguasai benda yang akan diwakafkan. Si wakif
tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri, tidak dipaksa
orang lain.
2.
Benda yang diwakafkan harus kekal
zatnya, maksudnya jika digunakan manfaatnya, zat barang tersebut tidak rusak.
Hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa diwakafkan.
3.
Hendaklah penerima wakaf tersebut
orang yang berhak memili sesuatu, maka tidak sah diwakafkan kepada hamba
sahaya.
4.
Ikrar wakaf dinyatakan dengan
jelas baik dengan tulisan atau lisan.
5.
Tunai dan tidak ada khiyar, Karen
wakaf berarti memindahkan milik waktu itu.
Nadzir (Pengurus Wakaf)
Nadzir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk
memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf
tersebut. Pada dasar menjadi nadzir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan
hukum.
Dalam hal nadzir wakaf perorangan, para ahli menuntukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi, yaitu
1.
Berakal sehat.
2.
Telah dewasa.
3.
Dapat dipercaya
4.
Mampu menyelenggarakan segala
urusan yang berkenaan dengan harta wakaf.
Jenis Wakaf
Wakaf yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1977 beserta berbagai peraturan pelaksanaannya adalah jenis wakaf khairi atau
wakaf untuk umum. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum angka 1
sebagai berikut:
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf
sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti
perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah
perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria hanya hak milik yang
mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu
yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak
mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubungan
masalah perwakafan tersebut untuk selama-lamanya, maka hak atas tanas yang
jangka waktunya terbatas tidak bisa diwakafkan.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang
mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua,
benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf
(al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf
1.
Syarat-syarat orang yang berwakaf
(al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan
harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang
berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak
secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan
orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2.
Syarat-syarat harta yang
diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan,
kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah;
pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta
yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak
diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf
(wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada
harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3.
Syarat-syarat orang yang menerima
manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima
wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira
mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima
wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu
dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf
itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk
orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima
wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh
untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir
zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh,
hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang
berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf
itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
4.
Syarat-syarat Shigah Berkaitan
dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu
mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah
wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada
syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak
diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat
terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah.
Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah
kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf
secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Unsur Wakaf
Untuk terwujudnya wakaf diperlukan adaya empat unsur dengan
syarat-syarat masing-masing sebagai berikut:
a)
Wakif, adalah orang atau
orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya (Pasal 1 ayat
2).
Orang atau orang-orang yang mewakafkan tanah miliknya harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut (pasal 3 ayat 1):
1) Telah dewasa.
2) Sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum.
3) Atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain.
Apabila badan hukum yang akan mewakafkan, maka ia harus badan hukum Indonesia,
dan yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum
tersebut (Pasal 3 ayat 20).
Dalam perundang-undangan disebutkan adanya sejumlah badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1963
disebutkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Badan-badan itu adalah:
a) Bank-bank yang didirikan oleh Negara.
b) Perkumpulan perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan bedasarkan
Undang-Undang no 79 Tahun 1984.
c) Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri pertanian/agraria setelah
mendengan Menteri Agama.
d) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Prtanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
b)
Benda yang diwakafkan, dalam hal
ini ialah tanah yang menjadi objek wakef itu. Tanah tersebut disyaratkan harus
tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara
(Pasal 4 PP No 28 Tahun 1977 jo pasal 1 Permendagri No. 6 Tahun 1977).
Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang suci, mulia da terpuji sesuai denga
ajaran Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu
betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya ditinjua dari sudut
pemilikan. Selain itu persyarat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau
terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk terjadinya berhadapan dengan
pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syari’at agama Islam. Bedasarkan
pandangan tersebut di atas maka tanah mengandung pembebanan seperti hipotik,
crediet verband, tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat
diwakafkan sebelu masalahnya diselesaikan terlebih dahulu (Penjelasan pasal 4
PP No. 28 Tahun 1977).
c)
Ikrar wakaf, adalah pernyataan
kehendek dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya (Pasal1 ayat 3).
Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan
tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang kemudian
menuangkannya dalam akta ikrar wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi (Pasal 5 ayat1). Untuk mewakafkan tanahnya, calon wakif harus
mengikrarkan secara lisan kepada Nadzir yang telah disahkan, dan bagi mereka
yang tidak mampu menyatakan kehendak secara lisan dapat menyatakan dengan
isyarat. Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf
secara tertulis dengan persetujuan KANDEPAG yang mewilayahi tanah wakaf dan
dibacakan kepada nadzir di hadapan PPAIW serta diketahui saksi-saksi (Pasal 3
Permenag No.1 Tahun 1978 Jo angka1 Lampiran II Peraturan Dirjen Bimasy Islam
No. Kep/D/75/78).
d)
Nadzir atau pengurus, adalah
kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan badan wakaf
(Pasal 1 ayat 4).
Nadzir tersiri dari dua macam:
1) Nadzir Perorangan
Syarat-syaratnya adalah:
a) Warganegara Republik Indonesia.
b) Beragama islam.
c) Sudah dewasa.
d) Sehat jasmaniah dan rohaniah.
e) Tidak berada di bawah pengampuan.
f) Bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
2) Nadzir Badan Hukum
Syarat-syaratnya adalah:
a) Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
b) Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan
(Pasal 6).
c) Badan hukum yang tujuan dan amal usahanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam(huruf B, Peraturan
Dirjen Bimasy Islam No. Kep/D/75/78). Nadzir perorangan maupun badan hukum
harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk didaftarkan
pengesahannya (bentuk W. 5. dan 5a.).
e)
Undang-Undang Perwakafan Tanah
Wakaf Menurut PP. No 28 Th. 1977 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No.
3107) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Obyek Wakaf
Menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang dapat
diwakafkan hanya harta benda yang dimiliki atau dikuasai pewakaf secara sah.
Harta benda wakaf dapat terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
Benda tidak bergerak termasuk :
Ø Hak atas
tanah baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
Ø Bangunan
atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.
Ø Tanaman dan
benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Ø Hak milik
atas satuan rumah susun.
Ø Benda tidak
bergerak lain yang sesuai ketentuan syariah dan perundang-undangan yang
berlaku. Benda bergerak antara lain berupa uang, logam mulia, surat berharga,
kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain
yang sesuai peraturan.
Syarat Wakaf
Ketika hendak mewakafkan harta bendanya, pewakaf wajib
mengucapkan ikrar wakaf di hadapan pejabat pembuat akta, ditambah dua orang
saksi. Ikrar wakaf adalah dari pewakaf kepada orang yang diserahi mengurus
harta benda wakaf (nadzir). Ikrar dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.
Pewakaf dapat memberikan kuasa untuk menyatakan ikrar wakaf karena alasan
yang dibenarkan secara hukum, misalnya karena penyakit. Akta ini minimal harus
memuat pewakaf dan nadzir, data harta yang diwakafkan, peruntukan, dan jangka
waktu wakaf.
Prosedur
wakaf tanah
Persyaratan yang wajib dipenuhi untuk mendaftarkan tanah wakaf adalah
menyerahkan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau tanda bukti
pemilikan tanah lainnya. selain itu juga harus menyerahkan surat pernyataan
dari wakif bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa, ikatan sitaan dan
tidak dijaminkan di bank yang diketahui lurah atau pejabat setingkat lainnya
yang diperkuat camat. tatacara pendaftaran sertipikat tanah wakaf harus
dilakukan berdasarkan akta ikrar wakaf atau akta pengganti akta ikrar wakaf.
terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf
atas nama nadzir. untuk tanah yang hanya sebagian diwakafkan, harus
retlebih dahulu melakukan pemecahan sertifikat hak atas tanah terlebih dahulu,
baru kemudian didaftrakan sebagai tanah wakaf atas nama nadzir. bila
tanah tersebut berstatus hak milik, atau bekas tanah adat, dapat langsusng
menjadi tanah wakaf. tanah yang sudah terdaftar dengan hak lain ditingkatkan
terlebih dahulu statusnya menjadi hak milik baru kemudian didaftarkan menjadi
tanah wakaf. tanah yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan
hak lainnya. tanah yang sudah diwakafkan hanya dapat diubah peruntukannya bila
digunakan untuk kepentingan umum sesuai RUTR, setelah memperoleh izin tertulis
dari Menteri atas persetujuan bandan Wakaf Indonesia. bila tanah wakaf telah
diubah statusnya, wajib ditukar dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai tukarnya
sama dengan benda wakaf semula.
Sertifikasi Tanah Wakaf
Dalam praktek di Indonesia, masih sering ditemui tanah
wakaf yang tidak disertifikatkan. Sertifikasi wakaf diperlukan demi tertib
administrasi dan kepastian hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum.
Sertifikasi tanah wakaf dilakukan secara bersama oleh Departemen Agama dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada tahun 2004, kedua lembaga ini
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala BPN No. 422
Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses sertifikasi tanah wakaf
dibebankan kepada anggaran Departemen Agama.
Sengketa Wakaf
Penyelesaian sengketa wakaf pada dasarnya harus
ditempuh melalui musyawarah. Apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan
hasil, sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Harta yang Diwakafkan
Wakaf
meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah
biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai,
tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara
perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan
harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak,
misalnya:
a.
Sebidang tanah.
b.
Pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya.
c.
Bangunan masjid, madrasah, atau jembatan.
Dalam Islam,
pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah
yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan
setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat.
Berkembangnya
agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil
wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah,
pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas
tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis
taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya
dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena
itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau
mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini
dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat
dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
Perwakafan Menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Sebelum pemerintah memberlakukan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, perwakafan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan
beberapa peraturan pelaksanaannya, serta Kompilasi Hukum Islam. Semua peraturan
perwakafan tersebut masih terdapat kelemahan dan belum mampu menjawab masalah
di bidang perwakafan yang terus berkembang.
Untuk memenuhi kebutuhan, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat, misalnya masalah
wakaf benda bergerak, wakaf untuk jangka waktu tertentu, dan lain-lain,
pemerintah mengaturnya melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
(selanjutnya disebut UU). Presiden mengesahkannya pada tanggal 27 Oktober 2004
dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159 serta
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459. UU ini terdiri dari XI
bab dan 71 pasal.
Latar belakang diundangkannya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
dapat dilihat dalam bagian menimbang huruf “a” dan “b”, yaitu sebagai berikut.
a.
Lembaga wakaf sebagai pranata
keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara
efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.
b.
Wakaf merupakan perbuatan hukum
yang telah lama dan dilaksanakan dalam masyarakat, tetapi pengaturannya belum
lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
UU ini menyempurnakan peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang telah ada
dan mengatur hal-hal yang baru. Di antaranya sebagai berikut:
1.
Tentang nazir. Yang dimaksud
dengan nazir menurut UU ini adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 poin
4). Sedangkan Pasal 9 UU ini menetapkan bahwa nazir meliputi: a. perorangan; b.
organisasi; c. badan hukum. Penjelasan Pasal 9 Undang-undang Wakaf ini
menerangkan yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan hukum
adalah perseorangan warga Negara Indonesia, organisasi Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia. Di sini ada penambahan yaitu nazir berbentuk organisasi, tentu
hal ini memperkuat kenyataan yang sudah ada di masyarakat, karena nazir wakaf
itu, misalnya ada yang berbentuk organisasi keagamaan. Pasal 10 ayat (1) UU
tersebut menentukan syarat-syarat nazir perorangan adalah sebagai berikut: a.
warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu
secara jasmani dan rohani; f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Penulis berpendapat syarat-syarat nazir ini merupakan penyempurnaan dari
syarat-syarat nazir dalam PP nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam
seperti syarat “amanah”, dengan persyaratan yang baru, nazir diharapkan dapat
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf lebih profesional dan terhindar
dari penyelewengan. Di samping itu, UU Wakaf ini tidak mensyaratkan nazir
harus bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah wakaf itu berada. Menurut
penulis hal ini merupakan suatu pengembangan dalam manajemen wakaf, karena yang
penting bagi nazir agar dia dapat mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf, walaupun dia bertempat tinggal di luar kecamatan tersebut. Jadi
sesungguhnya hal ini mendorong agar nazir menerapkan manajemen dalam melaksanakan
tugasnya. Selanjutnya Pasal 10 ayat (2) UU Wakaf dimaksud menetapkan syarat
nazir organisasi bahwa pengurus organisasi tersebut harus memenuhi syarat nazir
perorangan dan juga organisasi yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan Pasal 10 ayat
(3) UU ini mengatur badan hukum hanya menjadi nazir, jika memenuhi persyaratan
sebagai berikut: a. pengurus badan hukum tersebut memenuhi persyaratan nazir
perorangan dimaksud; b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. badan hukum yang bersangkutan
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
Islam. Jadi UU ini juga menghilangkan persyaratan badan hukum tersebut harus
mempunyai perwakilan di kecamatan, tempat tanah wakaf itu berada. Hal ini juga
mendorong untuk efisiensi pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf,
karena akan terjadi pemborosan, jika pada satu kecamatan terdapat satu lokasi
tanah wakaf yang tidak begitu luas, harus terdapat perwakilan pada kecamatan
tersebut. Pasal 11 UU ini menetapkan tugas nazir adalah: a. melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf; b. mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; c. mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf; d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan
Wakaf Indonesia (BWI). Dengan perubahan laporan kepada BWI sebagai lembaga
independen diharapkan nazir mampu mempertanggungjawabkan seluruh pengurusan wakaf.
Selanjutnya Pasal 12 UU Wakaf ini mengatur nazir dalam melaksanakan tugasnya
tersebut menerima imbalan dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 %. Kemudian Pasal 13 UU ini
menjelaskan nazir dalam melaksanakan tugasnya tersebut memperoleh pembinaan
dari Menteri dan BWI. Untuk mendapat pembinaan dimaksud, Pasal 14 UU ini
menetapkan nazir harus terdaftar pada Menteri dan BWI. Penjelasan pasal ini
mengatur Menteri harus proaktif untuk mendaftar para nazir yang sudah ada dalam
masyarakat. Pasal 42 Undang-undang Wakaf ini mengatur lebih lanjut nazir wajib
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya. Pasal 43 UU ini menentukan bahwa nazir mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 42 tersebut dilaksanakan
sesuai dengan prinsip syari‘ah dan dilakukan secara produktif. Kemudian jika
nazir memerlukan penjamin, maka dia dapat menggunakan lembaga penjamin
syari‘ah. Penjelasan Pasal 43 tersebut menerangkan pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf dilakukan secara produktif, di antaranya dengan cara
pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan
agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan
gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana
pendidikan ataupun sarana kesehatan, dan usaha-usaha lain yang tidak
bertentangan dengan syari‘ah. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga penjamin syari‘ah
adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan di antaranya melalui skim asuransi syari‘ah
atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penjelasan pengelolaan harta benda wakaf secara produktif tersebut
merupakan langkah maju di bidang perwakafan sehingga manfaat wakaf dapat lebih
luas lagi sesuai dengan peruntukannya. Di samping itu, dalam pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf, Pasal 44 UU ini melarang nazir melakukan
perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar ijin tertulis dari
BWI. Ijin ini hanya dapat diberikan jika harta benda wakaf tidak dapat
digunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. Pasal 45 UU
ini menetapkan nazir dalam melaksanakan pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf, diberhentikan dan diganti dengan nazir lain, jika nazir tersebut:
a. meninggal dunia untuk nazir perseorangan; b. untuk nazir organisasi atau
nazir badan hukum, jika bubar atau dibubarkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; c. atas permintaan sendiri; d. tidak
melaksanakan tugasnya sebagai nazir dan/atau melanggar ketentuan larangan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. dijatuhi hukuman pidana oleh
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian dan
penggantian tersebut dilakukan oleh BWI. Kemudian pengelolaan dan pengembangan
oleh nazir yang baru diangkat tersebut, dengan alasan sebagaimana dimaksud,
dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang telah
ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf. Dengan penyempurnaan pengaturan bagi
para nazir ini, diharapkan mereka dapat mengelola dan mengembangkan wakaf
secara profesional sehingga wakaf dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya,
salah satunya menurut UU ini sebagai alternatif untuk membantu fakir miskin.
2.
Tentang harta benda wakaf. UU ini
merinci harta benda yang boleh diwakafkan. Pasal 1 poin 1 UU Nomor 41 Tahun
2004 ini mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari‘ah. Pengertian wakaf ini
merupakan pengembangan dari peraturan perwakafan sebelumnya, karena pengaturan
sebelumnya hanya mengatur wakaf abadi, sedangkan UU ini mengatur juga wakaf
yang berlaku untuk jangka waktu tertentu misalnya satu tahun. Dengan pengaturan
ini memungkinkan lebih banyak orang yang mewakafkan harta benda miliknya,
karena dapat selain tanah milik yang untuk daerah perkotaan agak sulit dan
mahal harganya. Kemudian poin 5 pasal ini menjelaskan harta benda wakaf adalah
harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syari‘ah yang diwakafkan oleh wakif.
Selanjutnya Pasal 15 UU Wakaf ini menjelaskan lebih lanjut harta benda wakaf
hanya dapat diwakafkan jika dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara
sah. Pasal 16 ayat (1) UU ini menguraikan tentang harta benda wakaf
berupa benda tidak bergerak dan benda bergerak. Kemudian Pasal 16 ayat (2) UU
ini merinci benda tidak bergerak yang akan diwakafkan, meliputi: a. hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah
maupun yang belum terdaftar; b. bangunan atau bagian bangunan yang bediri di
atas tanah tersebut huruf a; c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan
tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan
ketentuan syari‘ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16 ayat
(3) UU ini menerangkan lebih lanjut benda bergerak tersebut pada ayat (1) huruf
b adalah benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a. uang; b.
logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari‘ah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Benda bergerak lain ini menurut
penjelsan Pasal 16 huruf g ini, antara lain mushaf, buku, dan kitab. Rincian
benda wakaf ini merupakan pengembangan di bidang perwakafan, karena wakaf
seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupakan variabel penting
dalam kegiatan ekonomi. Terutama dengan dibolehkannya wakaf dalam bentuk uang,
karena hal ini merupakan salah satu alternatif untuk dapat memecahkan masalah
kesulitan dana yang dihadapi oleh para nazir saat ini. Dengan pengaturan wakaf
uang ini, diharapkan wakaf dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya
sebagaimana akan dibahas.
3.
Peruntukan harta benda wakaf.
Pasal 22 UU ini menetapkan untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya diperuntukan bagi: a. sarana dan kegiatan ibadah; b. sarana dan
kegiatan pendidikan serta kesehatan; c. bantuan kepada fakir miskin, anak
terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
dan/atau e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syari‘ah dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 23 UU ini
memperjelas lagi bahwa penetapan peruntukan harta benda wakaf tersebut
dilakukan oleh wakif dalam pelaksanaan ikrar wakaf. Adapun jika wakif tidak
menentukan peruntukan harta benda wakaf, maka nazir dapat menetapkan
peruntukannya sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Menurut penulis rincian
peruntukan ini merupakan langkah maju dalam bidang perwakafan, karena ketentuan
ini dapat dijadikan pedoman bagi nazir sehingga dia dapat terhindar dari
penyelewengan pemanfaatan hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
Ketentuan tersebut memperjelas ke mana penyaluran hasil pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf tersebut, termasuk salah satunya bagi orang-orang miskin.
4.
Wakaf benda bergerak berupa uang.
Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 UU ini mengatur tentang wakaf benda bergerak
berupa uang. Ketentuannya bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa
uang melalui Lembaga Keuangan Syari‘ah yang ditunjuk oleh Menteri. Penjelasan
Pasal 28 UU ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan
Syari‘ah adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan
syari‘ah. Hal ini dapat dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataaan kehendak
wakif yang dilakukan secara tertulis dan diterbitkan dalam bentuk sertifikat
wakaf uang. Selanjutnya lembaga keuangan syari‘ah menerbitkan sertifikat
tersebut dan menyampaikannya kepada wakif dan nazir sebagai bukti penyerahan
harta benda wakaf. Kemudian lembaga keuangan syari‘ah, atas nama nazir
mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang ini kepada Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf
Uang. Wakaf benda bergerak berupa uang tersebut merupakan masalah yang baru
dalam perwakafan di Indonesia. Putusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
tentang masalah wakaf uang ini dikeluarkan pada tanggal 28 Safar 1423 H atau
bertepatan dengan tanggal 11 Mei 2002 M. Komisi ini memutuskan fatwa tentang
wakaf uang pada prinsipnya adalah: (1) wakaf uang (cash wakaf/waqf al-Nuqūd)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai, (2) termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat
berharga, (3) wakaf uang termasuk jawaz (boleh), (4) wakaf uang hanya boleh
disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar‘iy, (5)
nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan atau diwariskan. Menurut penulis dengan pengaturan wakaf uang
dalam UU ini, sesungguhnya merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan
salah satu masalah di bidang perwakafan, yakni kesulitan dana untuk pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif. Hal ini berkaitan dengan
harta benda wakaf menurut UU ini dapat dimanfaatkan untuk selamanya atau jangka
waktu tertentu. Salah satu alternatif pemecahannya, yakni nazir wakaf uang, di
antaranya menurut UU ini dapat dengan melalui lembaga keuangan syari‘ah. Jadi,
lembaga ini bekerjasama dengan para nazir tanah wakaf dan pihak-pihak terkait,
untuk meneliti tanah-tanah wakaf yang lokasinya strategis dan dapat dikelola
serta dikembangkan secara produktif. Setelah itu, dari hasil penelitian
tersebut, lembaga ini memberikan pinjaman modal kepada para nazir yang tanah
wakafnya memungkinkan dapat dikelola secara produktif. Pinjaman modal ini
berlaku untuk jangka waktu tertentu, misalnya 5 (lima) tahun. Caranya dapat
dengan sistem bagi hasil sesuai dengan perjanjian. Selanjutnya setelah lima
tahun uang pinjaman tersebut harus kembali utuh kepada lembaga tersebut, yang
bertindak sebagai nazir wakaf uang. Di samping itu, untuk menghindari resiko,
maka kedua belah pihak dapat menggunakan lembaga penjamin syari‘ah.
5.
Tentang Badan Wakaf Indonesia
(BWI). UU ini mengatur BWI secara rinci. Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU ini
menjelaskan latar belakang pembentukan BWI, yaitu untuk memajukan dan
mengembangkan perwakafan. Selain itu, BWI dalam melaksanakan tugasnya merupakan
lembaga independen. Pasal 48 UU ini mengatur bahwa BWI berkedudukan di ibukota
Negara Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau
kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Penjelasan Pasal 48 ini menerangkan
pembentukan perwakilan BWI di daerah dilakukan setelah BWI berkonsultasi dengan
pemerintah daerah setempat. Pasal 49 ayat (1) UU ini menentukan tugas dan
wewenang BWI, yaitu: a. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazir dalam
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf; b. mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; c.
memberikan persetujuan dan/atau ijin perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf; d. memberhentikan dan mengganti nazir; e. memberikan persetujuan atas
penukaran harta benda wakaf; f. memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Pasal 49 ayat (2)
dan Pasal 50 UU ini mengatur lebih lanjut bahwa dalam menjalankan tugas-tugas
sebagaimana dimaksud, BWI dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah baik
pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan
pihak-pihak lain yang dipandang perlu serta senantiasa memperhatikan saran dan
pertimbangan dari Menteri dan Majelis Ulama Indonesia. Pasal 51 UU ini
mengatur bahwa organisasi BWI terdiri dari Badan Pelaksana yang merupakan unsur
pelaksana tugas BWI dan Dewan Pertimbangan yang merupakan unsur pengawas
pelaksanaan tugas BWI. Pasal 52 UU ini menetapkan Badan Pelaksana dan Dewan
Pengawas BWI tersebut, masing-masing dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua)
orang Wakil Ketua yang dipilih sendiri oleh para anggota, demikian juga
susunan keanggotaan masing-masing ditetapkan sendiri oleh para anggota. Pasal
53 UU ini merinci jumlah anggota BWI terdiri dari sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) orang dan sebanyak-banyaknya 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari
unsur masyarakat. Pasal 54 UU ini menentukan untuk dapat dianggkat menjadi
anggota BWI, setiap calon anggota harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d. amanah e. mampu secara
jasmani dan rohani; f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; g. memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau
ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syari‘ah; h. mempunyai komitmen yang
tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional. Di samping itu, BWI berhak
menetapkan persyaratan lain untuk menjadi anggotanya. Pasal 55 UU ini mengatur
keanggotaan BWI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sedangkan untuk
keanggotaan BWI di daerah diangkat dan diberhentikan oleh BWI. Kemudian BWI
mengatur lebih lanjut tentang tata cara pengangkatan dan pemberhentian para
anggotanya. Pasal 56 UU ini menentukan masa jabatan angggota BWI selama 3
(tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu (satu) kali masa jabatan.
Pasal 57 UU ini menetapkan pengangkatan keanggotaan BWI untuk pertama kali
diusulkan oleh Menteri kepada Presiden dan pengusulan pengangkatan keanggotaan
BWI kepada Presiden selanjutnya dilaksanakan oleh BWI. Sedangkan ketentuan
tentang tata cara pemilihan calon keanggotaan BWI, diatur oleh BWI sendiri, dan
pelaksanaannya terbuka untuk umum. Selanjutnya Pasal 58 UU ini menjelaskan BWI
berhak mengatur keanggotaan BWI yang berhenti sebelum berakhir masa jabatannya.
Pasal 59 UU ini menekankan untuk pelaksanaan tugas BWI, Pemerintah wajib
membantu biaya operasional. Selanjutnya Pasal 60 UU ini menerangkan bahwa BWI
berhak mengatur susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, tata cara
pemilihan anggota dan susunan keanggotaan, serta tata kerja BWI. Adapun Pasal
61 UU ini menentukan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas BWI dilakukan melalui
laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan
kepada Menteri serta laporan tahunan tersebut diumumkan kepada masyarakat. BWI
ini merupakan lembaga independen bagi pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf di tanah air kita, sebaiknya keanggotaannya segera dibentuk di
tingkat Kabupaten/kota. Hal ini mengingat tugas dan wewenangnya yang begitu
strategis bagi pengelolaan wakaf produktif sebagaimana diatur dalam UU ini.
Pasal 63 UU ini menetapkan BWI bertugas juga membantu Menteri melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan
dan fungsinya, dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama
Indonesia. Selain itu, Pasal 64 UU ini mengatur bahwa Menteri dan BWI dapat
melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan
internasional, dan pihak-pihak lain yang dipandang perlu untuk melakukan
pembinaan. Menurut penulis pembentukan BWI dalam bidang perwakafan merupakan
langkah terobosan yang maju karena dalam peraturan perwakafan sebelumnya belum
pernah diatur. Selain itu, dengan memperhatikan tugas dan wewenangnya, hal ini
merupakan langkah yang strategis untuk pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf di Indonesia. Karena BWI ini dapat membentuk perwakilan sesuai dengan
kebutuhan sampai di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota. Anggota BWI untuk
perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota, selain harus memenuhi
persyaratan menurut undang-undang, menguasai masalah perwakafan secara umum,
mengetahui manajemen, administrasi keuangan, dan lain-lain; juga harus memahami
kondisi geografis wilayah masing-masing dan karakteristik masyarakatnya. Dalam
pelaksanaan tugasnya BWI harus melakukan koordinasi dengan Kandepag setempat,
sebab pada sebagian Kandepag sudah ada struktur baru yaitu “Penyelenggara Zakat
dan Wakaf” yang salah satu sub seksinya adalah “Pelaksana Pemberdayaan Wakaf”.
Tugas subseksi ini tidak jauh berbeda dengan tugas BWI. Koordinasi ini penting
agar kehadiran perwakilan BWI di daerah dapat membawa perubahan yang lebih baik
di bidang perwakafan. Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah membuat peraturan
daerah tentang perwakafan agar operasionalisasi UU nomor 41 tentang Wakaf
tersebut efektif berlaku di daerah.
6.
Pembinaan dan pengawasan. Pasal 63
sampai dengan Pasal 66 UU ini menetapkan bahwa Menteri dan BWI bersama-sama
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk
mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf. Hal ini dilaksanakan dengan memperhatikan
saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Di samping itu, dalam rangka
pembinaan, Menteri dan BWI dapat mengadakan kerjasama dengan organisasi
masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak-pihak lain yang dipandang
perlu. Adapun dalam rangka pengawasan, Menteri dapat meminta jasa akuntan
publik.
7.
Ketentuan pidana dan sanksi
administratif. Pasal 67 ayat (1) UU ini menentukan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 UU ini, atau tanpa ijin menukar harta benda
wakaf yang telah diwakafkan menurut ketentuan Pasal 41 UU ini, misalnya
menggunakan benda yang telah diwakafkan untuk kepentingan umum sesuai dengan
rencana umum tata ruang, tanpa memperoleh izin Mentri yang berdasarkan
persetujuan BWI; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp.500.000.000; (lima ratus juta rupiah). Kemudian
Pasal 67 ayat (2) UU ini mengatur bahwa setiap orang yang sengaja mengubah
peruntukan harta benda wakaf, tanpa ijin sesuai ketentuan Pasal 44, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.400.000.000; (empat ratus juta rupiah). Selanjutnya Pasal 67 ayat (3)
UU ini menerangkan bahwa nazir yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil
fasilitas dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi
jumlah yang ditentukan dalam Pasal 12 UU ini, yakni melebihi 10 % (sepuluh
persen), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.300.000.000; (tiga ratus juta rupiah). Di samping
itu, Pasal 68 UU ini menetapkan bahwa Menteri dapat mengenakan sanksi
administratif terhadap pelanggaran tidak didaftarkannya benda wakaf oleh
lembaga keuangan syari‘ah dan PPAIW, sesuai ketentuan dalam Pasal 30 dan Pasal
32 UU ini. Sanksi administratif tersebut dapat berupa: a. peringatan
tertulis; b. penghentian sementara atau pencabutan ijin kegiatan di bidang
wakaf bagi lembaga keuangan syari‘ah; c. penghentian sementara dari
jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW. Penulis berpendapat ketentuan
sanksi pidana dan sanksi administratif tersebut merupakan terobosan di bidang
perwakafan di Indonesia. Sanksi yang tegas ini diharapkan dapat mencegah
terjadinya penyimpangan terhadap harta benda wakaf, pengelolaannya,
pengembangannya, dan pemanfaatan hasilnya. Dengan cara demikian, perwakafan
dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syari‘at Islam dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga peruntukan harta benda wakaf yang
telah ditetapkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ini dapat tercapai,
salah satu di antaranya pemanfaatan hasil wakaf dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif memberi bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim
piatu, dan bea siswa.
Agar tujuan dan fungsi wakaf yang telah ditentukan dalam UU ini dapat tercapai,
maka UU ini segera diikuti dengan peraturan pelaksanaannya, berupa peraturan
pemerintah, peraturan menteri terkait, dan peraturan daerah masing-masing. Di
samping itu, UU ini dengan jelas menetapkan salah satu peruntukan wakaf adalah
untuk memberi bantuan kepada fakir miskin.
Dari uraian singkat tersebut,
nampak bahwa wakaf dapat berfungsi sebagai salah satu alternatif untuk membantu
menanggulangi keimiskinan, jika dilakukan upaya-upaya dalam pengelolaan,
pengembangan, dan pemanfaatannya, di antaranya sebagai berikut:
1.
Nazir mampu mengelola dan
mengembangkan wakaf secara produktif serta memanfaatkan hasilnya dengan
menggunakan manajemen yang baik. Selain itu, dia mampu mengadakan kerjasama
secara intern dengan para nazir sendiri ataupun dengan berbagai pihak, baik di
dalam maupun di luar negeri yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan dan
pengembangan wakaf.
2.
Negara ikut berperan dengan
mengaturnya melalui peraturan perundang-undangan, melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf.
3.
wakif harus ikut mengawasi dan
mengontrol para nazir dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf serta pemanfaatan hasilnya.
4.
BWI harus melakukan pembinaan,
pengawasan, pengangkatan, perubahan, dan pemberhentian para nazir, serta
tindakan-tindakan lainnya yang bermanfat bagi pengelolaan dan pengembangan
wakaf dan pemanfaatan hasilnya.
5.
masyarakat setempat perlu
dilibatkan untuk ikut mengawasi dan mengontrol pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf, baik terhadap aspek administrasi maupun keuangan; pengawasan
dari masyarakat ini dapat lebih efektif, karena bersifat lokal.
Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
Landasan
1.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.
2.
Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977
tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
3.
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang
Peraturan Pelasanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik.
4.
Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
No. Kep/P/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang
Perwakafan Tanah Milik.
Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf
dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan
berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan
kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja,
susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh
yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan
wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang
mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum.
Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah
cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan
penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan
diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan
yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih
kecil.
Hikmah Wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
1.
Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat
baik.
2.
Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak
terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai
pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan
tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam
salah satu haditsnya:
مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ
مْنِّى (الحديث)
Artinya: “Barangsiap yang tidak
memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari
golonganku.” (Al Hadits).
3. Mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada
badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai
dengan kaidah usul fiqih berikut ini.
مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ
Artinya: “Kemaslahatan umum harus
didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
Adapun manfaat wakaf bagi orang yang
menerima atau masyarakat adalah:
·
Dapat menghilangkan kebodohan.
·
Dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan.
·
Dapat menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial.
·
Dapat memajukan atau menyejahterakan umat.